foto: google.com

Tahun pertamaku setelah kejadian itu, Alhamdulillah dapat melanjutkan pendidikan ke salah satu Perguruan Tinggi Negeri, yaitu Politeknik Negeri Jakarta. Sedikit cerita, saat tahun 2016 itu aku lulus dari SMA mencoba semua jalur untuk masuk ke PTN favorit. Di SMA aku mencoba ikut Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) melalui nilai rapor, aku memilih Universitas Padjajaran, Bandung. Kebetulan ada beasiswa untuk mahasiswa baru di universitas tersebut, aku memilih Fakultas Kedokteran. Saat pengumuman SNMPTN aku tidak lolos seleksi.

Meskipun begitu, aku tidak patah semangat, bagaikan batu yang diterjang ombak, tetap tegar berdiri. Aku mencoba jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN), pilihan universitas aku lupa, namun yang terakhir adalah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (UIN). Hasil seleksi pun aku gagal. Aku mencoba melalui jalur mandiri masuk universitas. Aku bingung akan pilih Jalur Mandiri Universitas Indonesia (UI) atau Jalur Mandiri Universitas Gadjah Mada (UGM) karena hampir tiap tahun yang kuketahui dua jalur mandiri dari universitas itu selalu berbarengan tanggal pelaksanaan. Akhirnya, aku memilih Jalur Mandiri Universitas Gadjah Mada karena pula tahun itu universitas nomor satu di Indonesia adalah UGM.

Hasil yang kudapatkan sama, gagal seleksi juga. Sempat terpikir, “Mungkin tahun ini tidak bisa masuk PTN, akan coba tahun depan. Tahun ini aku akan kerja saja,” dalam hatiku. Namun, aku coba sekali lagi. Ikutlah aku Jalur Mandiri UIN dan Ujian Masuk Politeknik Negeri (UMPN). Yap, aku gagal lagi. Lalu, aku mengikuti kembali UMPN 2 khusus untuk masuk di Politeknik Negeri Jakarta (PNJ).

Hasil seleksi adalah aku menjadi mahasiswa cadangan, dari Teknik Mesin, program studi Konversi Energi. Mahasiswa cadangan adalah aku menjadi cadangan dari jurusan itu dan bisa masuk ke jurusan itu jika salah satu mahasiswanya ada yang mundur. Yah seperti atlet sepak bola yang menghangatkan bangku cadangan. Tetapi saat itu, tidak ada yang mundur dari jurusan itu. Aku sempat bingung harus apa, Bu Astiti pudir 3 (kalau tidak salah) berkata “Coba ke Jurusan Teknik Grafika dan Penerbitan (TGP) Gedung Z, di sana ada sosialisasi untuk menambah kuota mahasiswa baru.”

Aku coba ke gedung Z TGP dan benar ada sosialisasi. Aku ikut saja dan ada satu program studi yang menarik, yaitu Penerbitan/Jurnalistik. Dalam sosialisasi itu aku mendengarkan tentang TGK tersebut, lalu disebarkan formulir untuk calon mahasiswa baru. Aku tulis hari itu juga dan pulang untuk menyiapkan berkas yang perlu. Esok hari, aku kumpulkan formulir tersebut beserta berkas yang diperlukan.

Alhamdulillah hasil pengumuman aku diterima di Jurusan TGP Program Studi Penerbitan/Jurnalistik. Dari situlah, aku dapat melanjutkan pendidikan hingga saat ini tahun 2018 masuk semester 5 dan sebentar lagi akan lulus dari Jurusan TGP. Senang juga sedikit pusing untuk menuliskan laporan Praktik Industri dan judul Tugas Akhir. Maklumlah mahasiswa tingkat akhir memang beginilah hehehe.



***


Setelah lulus dan masuk sebagai mahasiswa baru di PNJ, tidak ada kejadian yang aneh seperti tahun-tahun sebelumnya. Berarti benar, mungkin itu hanya sebuah kebetulan saja yang ternyata sama persis dengan mimpi-mimpiku. Semua berjalan dengan baik dari awal tahun aku sebagai mahasiswa PNJ. Mempunyai kelas Penerbitan D (PB D) yang berisi anak-anak bawel, cerewet, suka nge-cengin teman sendiri, dan lain-lain. Kelas yang benar-benar gokil.

Marksheet pun sudah kudapatkan pada semester satu sebagai ucapan selamat datang di TGP dengan nilai rata-rata mencapai B+ bahkan hampir A. Padahal, aku selalu takut dengan nilai/hasil yang akan kudapatkan. Tetapi, ternyata semua hasil itu sangat memuaskan untukku dan juga kedua orang tuaku. Memang awal-awal masuk sebagai mahasiswa, materi kuliah sangat berbeda dengan diriku yang berasal dari SMA Jurusan Ilmu Pengetahuan Alam.

Aku masuk di jurusan TGP harus berhadapan dengan tulis-menulis, huruf-huruf, kalimat-kalimat wawancara, komunikasi, psikologi, berita, cerpen, dan semua yang berhubungan dengan tulis-menulis plus ditambah desain grafis. Secara mental, aku sempat nge-down wajar saja karena dulu yang aku hadapi adalah angka-angka, hitung-hitungan, dan rumus-rumus. Mau tidak mau aku harus hadapi semua dengan sabar, dan sekarang bisa kuhadapi semua.

Dua tahun sudah berkuliah di PNJ, saat bulan Ramadan kemarin di tahun ini. Aku mengalami untuk ketiga kali. Sangat-sangat tidak menyangka bahwa peristiwa itu terjadi kembali. Aku bermimpi, kelasku PB-5D akan buka bersama di salah satu rumah teman sekelasku. Gambaran tempat itu dalam mimpiku adalah rumah yang besar, luas, dan daerahnya agak dingin. Jauh sekali gang rumah itu, rumah yang sedikit misterius sih menurutku, tetapi rumah yang bagus dan indah.

Benar saja! Gambaranku tentang tempat itu ternyata rumah Rury salah satu teman di kelas kami. Perjalanan dari kampus yang jauh, sampai di rumah Rury hampir menjelang waktu berbuka. Bayanganku dalam mimpi benar-benar mirip dengan acara bukber kelasku. Rumah yang besar, luas, dan memang di sana agak dingin kalau malam. Apalagi gang yang gelap karena lampu jalan kurang. Betul-betul hampir menyentuh 100% sama dengan mimpiku,

Walaupun begitu, kami semua sangat berterima kasih kepada Rury dan orang tua Rury yang repot-repot untuk menyiapkan menu berbuka malam itu. Seperti biasa, kami semua saling mengobrol, tertawa, bercengkrama, dan menikmati kebersamaan. Aku tetap saja dengan perasaan bingung dan aneh, “Ini terjadi lagi kepadaku,” mulutku bergumam. Peristiwa yang kualami saat ini seakan-akan menjadi hal biasa jika terjadi lagi. Aku pun tidak menceritakan ini kepada teman-teman sekelasku termasuk kepada Rury sendiri.

Saat bukber itu, teman lama kami yang dulu sekelas sekarang pindah kampus dan tahun ini balik lagi ke PNJ, Awwal ikut bukber bersama kami. Aku sering mengobrol dengan Awwal tentang apa pun yang hangat di masyarakat bahkan tentang kampus Awwal di Banten. Lalu, aku mengobrol tentang kejadian ini. Second Sight atau Déjà Vu. Awwal pun pernah mengalami, namun tidak sepertiku sampai mengalami sebanyak 3 kali. Awwal berkata, kalau sudah terjadi lebih dari 2 kali berarti itu adalah fakta dan kenyataan yang benar.

Selepas aku mengobrol dengan Awwal, aku masih berpikir, “Bagaimana bisa terjadi untuk yang ketiga kali?” tanyaku ragu dalam hati. Saat itu, aku tidak memikirkan lagi aku hanya memikirkan bahwa aku dan teman sekelasku sedang berbagi cerita, tawa dan canda hingga kami tahu hari semakin malam, kami semua pamit kepada kedua orang tua Rury dan bersama-sama pulang menaiki dan mengendarai motor secara beriringan ditemani malam gelap dan juga jalan yang agak gelap.

Meskipun aku sudah mencoba melupakan, peristiwa itu tetap ada dalam pikiranku hingga saat ini. Namun, jika itu terjadi lagi bisa dikatakan menjadi hal yang biasa bagiku. Dan jika memang benar aku memiliki indera ke-6 maka, itu adalah pemberian, anugerah, dan karunia dari-Nya kepadaku. Tetap saja, aku bingung kenapa harus aku yang mengalami? Apakah orang lain banyak juga yang mengalami sepertiku? Apakah orang lain pun mengalami lebih dari dua kali sepertiku? Sebuah tanya yang selalu hadir kalau peristiwa itu terjadi lagi kepadaku.



***


(the end)